Siluet Biru Oleh Bunga Apricia Penulis adalah mahasiswa Univ. Airlangga Surabaya Kalau ada yang lebih menjengkelkan daripada jempol kaki kejeduk lemari, mungkin Raf orangnya. Upi nggak pernah habis pikir, bagaimana dia bisa segitu enjoy-nya cerita tentang Nad yang sosoknya aja Upi nggak pernah lihat sama sekali. Nad yang imut-lah, Nad yang manja-lah, Nad yang manis-lah. Bener-bener kelewatan tuh anak. Kadang Upi kuatir sendiri. Jangan-jangan Nad yang diceritain Raf itu wujud penampakan lagi! Abis, Raf selalu ngeles tiap kali Upi minta dikenalin sama Nad. Tapi, sebetulnya bukan itu yang jadi keresahan Upi yang nomor satu belakangan ini. Dia baru nyadar kalau yang namanya raf itu cowok yang nggak bakalan cuek sampai mati sama yang namanya cewek. Dulu sih Upi kira begitu. Tapi ternyata sekarang terbukti salah. Bahkan kalau perlu pakai caps lock, SALAH!!! Dan Upi nyesel udah punya pemikiran ala planet Pluto kayak gitu. Lebih nyesel lagi karena cewek itu Nad. Emangnya Nad itu siapa? Kenapa sih Raf tergila-gila sama makhluk bernama Nad itu? Dan gara-gara Nad, rasanya Upi jadi ikutan gila. Masa tiap hari yang dinyanyiin Raf cuma Nad, Nad, Nad, dengan nada Tik Tik Tik Bunyi Hujan di Atas Genting. Waktu Upi protes, dengan santainya Raf menjawab, "Abis, kalau pakai namamu jadi nggak banget nyanyinya. Entar dikira aku lagi upi-upi," katanya sambil menjorokkan telunjuknya ke dalam hidung dan kemudian digoyangkan gila-gilaan. Ih! Upi jadi empet abis. Apa dikiranya dia itu upil? Alasan kedua yang bikin Upi sebel sebenernya nggak penting-penting amat. Cuma, Raf jadi nggak pernah lagi nganterin Upi ke mana-mana. Emang sih ada Zal. Mereka bertiga akrab banget dan sering keluyuran ke mana-mana. Tapi beda banget rasanya. Upi suka nggak kerasan kalau sama Zal. Abisnya, Zal suka banget nyetel lagu-lagu yang melas, bikin hati Upi jadi serasa lebih melas dari yang nyanyi. Sebenernya sih, sama Raf juga sama nggak kerasannya. Raf suka nyetelin lagunya Linkin Park keras-keras. Upi jadi budeg. Tapi paling nggak dia nggak perlu menangis meratap-ratap sambil melihat air hujan yang mengalir dari kaca jendela mobil. Dan emang dia nggak pernah kayak gitu. Yah, intinya sih, Upi bener-bener kehilangan Raf. Malem minggu gini Upi sedang asyik ngelamun di halaman belakang. Sampai-sampai nggak denger ada orang dateng. Zal berdehem-dehem, seperti cowok di iklan obat batuk. "Eh, kamu Zal. Tumben-tumbennya nih," sapa Upi begitu sadar Zal di belakangnya, menanti untuk disapa. Zal duduk di sebelah Upi. Ada bau cologne yang menyentil ujung hidung Upi yang kemerah-merahan. Wangi. Upi jadi ngersa gatal-gatal. Abis, nggak biasanya dia nyium bau wangi dari cowok. Apalagi dari Raf. Cowok itu emang nggak bisa diharapkan. Walau udah mandi, tetep aja dia bau keringet kayak orang abis lari jarak jauh. Tapi Zal emang nggak bisa disamain sama Raf. Zal bisa bikin cewek-cewek histeris gara-gara penampilannya yang keren abis. Kayak malam ini. Upi jadi kehabisan kata-kata, mau berkomentar apa tentang penampilan Zal. Mengingat penampilannya sendiri yang apa adanya. Celana jins yang sudah sobek-sobek dipadu kaus longgar Mickey Mouse yang merah-kuning-oranye. "Pi," celetuk Zal tiba-tiba, "Malem ini bintangnya bagus banget ya." Upi jadi semakin speechless. Baru kali ini dia diajak ngomong soal bintang di langit malam sama cowok. Upi jadi nggak tahu harus jawab apa. Raf mana pernah ngomongin bintang. Tiap kali Raf main ke rumah Upi, yang dikomentarin pertama kali kalau nggak rambut Upi yang ketombean, ya baju Upi yang belelnya kelewatan. Padahal, Raf sendiri malah lebih parah dari Upi. Tapi kalau bintang…, sumpah, Upi lebih suka ngomongin ketombe di kepala daripada bintang. Tapi ini Zal. Bukan Raf. Lagipula, Upi tiba-tiba sebel sendiri, kenapa sih belakangan ini yang dipikirkan cuma Raf melulu. Padahal kalau ada Raf, Upi nggak pengin deket-deket dia. Kalau ada Raf, Upi sebel setengah mampus. Kalau ada Raf, mereka suka adu mulut sampai ngos-ngosan. Kalau ada raf, Upi… suka. Suka? Ah, sialan. Upi jadi merasa begitu merana menyadari kehilangannya. Dia jadi bener-bener pengin menangis meratap-ratap sambil ngeliatin air hujan yang mengalir di kaca jendela mobil. Zal menatapnya dalam-dalam. Ia suka melihat Upi dengan baju noraknya. Ia suka melihat Upi dengan jins belelnya. Ia suka melihat Upi. Ia suka Upi. Aku akan menyatakannya sekarang, pikir Zal sambil mengumpulkan segenap keberaniannya. Kalau saja ia tahu apa yang ada di pikiran Upi, mungkin ia takkan suka. Tapi Zal tidak tahu. Zal juga tidak tahu kedatangan Raf yang sudah sedari tadi memperhatikan mereka berdua dalam diam. Raf berbalik tanpa suara. Ia tahu, tak mungkin bersaing dengan Zal, kakak kandungnya sendiri. Mungkin mengalah lebih baik. Toh, Upi juga tak mungkin menyukainya yang kelewat jorok dan bau keringat. Raf bergegas menuju mobil. Nad masih duduk manis. Orang tua Nad yang masih sepupu Raf telah menunggu di rumah. Tangan mungil Nad menggapai-gapai wajah Raf sambil tertawa-tawa…